Tak Semua Mimpi Harus Terwujud
"Gak usah sok bermimpi jadi dokter, sadar diri ayahmu cuman petani!" Aku masih ingat kapan kalimat itu diucapkan oleh seorang wanita yang seusia Ibuku. Dia berdiri sekitar dua meter dari ku menghadap ke timur, memakai daster bermotif bunga sepatu. Ekspresi wajahnya terlihat kesal diikuti oleh nada bicara yang agak meninggi, "Kamu masih kecil, gak usah sok punya cita-cita, anak seusiamu masih suka bermain gundu". Aku tak mengerti apa sebenarnya yang membuat wanita itu kesal, apa yang salah dari seorang anak usia lima tahun yang mempunyai cita-cita?
Sebagaimana lazimnya anak kecil, mendapatkan perlakuan seperti itu, aku tak tahu harus melakukan apa, tak membalas ataupun tak menangis. Aku hanya ingin mengutarakan impianku saja, sama seperti anak kecil polos lainnya, membalas juga bukan solusi yang tepat.
Saat menceritakan hal itu kepada Ibuku, baru ku ketahui ternyata wanita itu masih saudara dengan Ayah dan aku harus memanggilnya Bibi.
---
Sejak saat itu, impian menjadi dokter tertanam kuat dalam benakku. Meski komentar Bibi sempat membuatku ragu, dukungan Ibuku menguatkanku. Aku tumbuh dengan semangat dan tekad yang tak pernah pudar. Di sekolah dasar, aku selalu berusaha menjadi yang terbaik. Setiap ujian, setiap tugas, semuanya kujalani dengan sungguh-sungguh. Hasilnya, aku selalu meraih prestasi dan menjadi juara kelas.
Ibuku selalu hadir di setiap acara penghargaan, memberikan senyuman penuh kebanggaan yang selalu membuatku terharu. Dia sering berkata, "Kamu bisa, Nak. Teruslah berusaha dan jangan pernah menyerah."
Ketika beranjak ke sekolah menengah pertama, aku tetap mempertahankan prestasi itu. Meskipun beban pelajarannya semakin berat, aku tidak pernah mengeluh. Aku mengikuti berbagai kegiatan ekstrakurikuler, aku akan lakukan apapun untuk bisa mewujudkan impianku. Setiap hari, aku semakin yakin bahwa impian ini adalah jalan yang tepat untukku.
Saat masuk ke sekolah menengah kejuruan (SMK), aku terpaksa harus memilih bersekolah di dekat Rumah dan mengambil jurusan TKJ (Tekhnik Komputer dan Jaringan), selain dekat biayanya juga gratis, karena SMK dengan jurusan kesehatan hanya ada di Kota dengan biaya yang lumayan mahal dan ditambah dengan jarak 2 jam dari Rumah. Di sana, aku bukannya belajar cairan - cairan medis aku malah belajar mengenal tinta printer, sama - sama cair sih, tapi bukan untuk menyembuhkan orang sakit. Namun, kegigihanku tidak akan pernah pudar. Aku terus menjadi juara kelas dan mendapat prestasi.
Ketika tiba saatnya untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi, kenyataan pahit menamparku. Biaya kuliah yang tinggi membuatku terpuruk. Ayahku, seorang petani dengan penghasilan pas-pasan, tidak mampu membiayai kuliahku. Meski Ibuku selalu memberikan dukungan dan doa, itu tidak cukup untuk mewujudkan impianku. Aku merasa dunia seakan runtuh.
"Sabar ya, Nak. Ibu dan Ayah akan selalu mendukungmu dengan doa. Jangan menyerah," kata Ibuku dengan air mata yang mengalir di pipinya.
Aku mencoba mencari beasiswa, bekerja paruh waktu, dan segala cara lainnya. Namun, semua usaha itu tidak membuahkan hasil. Impianku untuk menjadi dokter terasa semakin jauh dari jangkauan. Kekecewaan dan kesedihan merasuk dalam diriku. Ditambah lagi, perceraian orang tuaku membuatku semakin depresi.
Hari-hari menjadi kelam. Aku kehilangan semangat dan harapan. Pikiran untuk mengakhiri hidup sempat terlintas. Rasa kecewa, marah, dan sedih bercampur aduk dalam diriku. Aku merasa sendirian dan tak berdaya.
Setelah itu, aku memutuskan untuk kabur dari rumah. Aku merasa butuh waktu dan jarak untuk meredam semua perasaan negatif ini. Aku merantau ke pulau seberang dan mencoba mencari pekerjaan apapun yang bisa kulakukan.
Nasib membawaku ke sebuah klinik terapi kesehatan. Aku diterima bekerja sebagai terapis kesehatan. Suatu malam yang sepi dengan perasaan penuh kemelut, aku mencoba bunuh diri, loncat dari gedung lantai 2 setinggi 10 meter.
Dengan keadaan masih sadar, aku dilarikan ke Rumah sakit untuk diperiksa. Di sebuah ruangan cukup luas aku dibaringkan, terdapat mesin scan bergelantung di atasku, punggungku di-rongent. Tak lama berselang, hasilnya pun keluar, untungnya aku hanya mengalami cedera pinggang.
"Kenapa gak kuliah mas, lagian sayang lho mas ya masih muda" ketika aku berbincang dengan pasien, pertanyaan itu sering ditanyakan.
"pernah nyoba daftar beasiswa pak, tapi gak lulus", jawabku dengan jujur.
"owalah, jangan menyerah mas, coba lagi, sekarang kan banyak opsi, ada kelas karyawan dan ada juga yang online"
"iya pak, nanti saya coba pikir - pikir dulu", balasku dengan perasaan bimbang, sebab aku tidak yakin bisa membagi waktu antara pekerjaan dan kuliah, mengingat jam kerjaku yang 12 jam setiap hari, di hari weekend pun aku tidak bisa libur.
Awalnya, menjadi terapis ini hanyalah caraku untuk bertahan hidup dan lari dari masalah yang ku derita. Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai menemukan ketenangan dan kepuasan dalam pekerjaan ini. Melihat pasien yang datang dengan berbagai keluhan dan melihat mereka pulih setelah terapi, memberikan kebahagiaan tersendiri.
"Impian saya sih pengen jadi dokter mas, tapi malah masuk SMK TKJ, dan ga kuliah" aku bercerita kepada pasienku.
"Tapi masnya udah bisa mewujudkan impian mas kok"
"Kok masnya bisa mas?" tanya ku dengan mengernyitkan dahi penasaran.
"Kan nya masnya menerapi orang yang datang kesini, dan orang tersebut pun merasa senang karena sembuh dan sehat" jawabnya meyakinkanku.
"bukankah itu sama aja prinsipnya kayak dokter ", lanjutnya lagi.
"hmm.... iya juga ya", aku heran kenapa selama ini aku tidak menyadari, ngapain saja aku selama ini?.
Selama lima tahun bekerja sebagai terapis, banyak hal yang ku pelajari. Aku belajar memaafkan diriku sendiri dan orang lain. Aku belajar menerima kenyataan dan menemukan cara untuk berdamai dengan masa laluku. Pekerjaan ini membuatku merasa lebih hidup dan lebih tenang.
Suatu malam, setelah pulang dari seharian bekerja yang melelahkan, aku merenung. Aku menyadari bahwa meskipun impianku untuk menjadi dokter tidak terwujud, aku tetap bisa membantu orang lain. Aku tetap bisa menyembuhkan, meskipun dengan cara yang berbeda. Aku merasa puas dan bangga dengan apa yang telah aku capai.
Aku ingat kata-kata Ibuku, "Kamu bisa meraih impianmu, Nak, asalkan kamu percaya dan bekerja keras." Ternyata, menjadi seorang terapis kesehatan sudah lebih dari cukup. Pekerjaan ini membuatku merasa hidup, tenang, dan bangga karena termasuk pekerjaan mulia.
Aku pulang ke kampung halaman setelah lima tahun. Aku telah berdamai dengan diriku sendiri dan siap menghadapi masa depan. Ibuku menyambutku dengan pelukan hangat dan air mata kebahagiaan.
"Maafkan Ibu dan Ayah, Nak. Kami tidak bisa memberimu lebih," kata Ibuku dengan suara bergetar.
Aku tersenyum dan memeluknya erat. "Tidak apa-apa, Bu. Aku sudah menemukan jalanku. Aku bangga dengan apa yang aku lakukan."
Hari itu, aku merasa beban di pundakku hilang. Aku telah belajar bahwa membantu orang lain tidak harus menjadi dokter. Menjadi seorang terapis kesehatan sudah membuatku merasa cukup. Aku akan terus melayani pasien dengan sepenuh hati, karena itulah panggilanku.
Dengan dukungan dan doa dari Ibuku, aku siap menghadapi masa depan dengan semangat baru. Aku akan terus berjuang untuk menjadi versi terbaik dari diriku sendiri, dan aku tahu bahwa dengan cinta dan tekad, segala sesuatu mungkin terjadi.